Post

Belum ada judul

Hari menjelang senja ketika rombongan Pataga menuruni Lembah Suryakencana dari arah Gunung Gemuruh. Hamparan lembah yang luas tak bertuan itu memutih oleh bunga-bunga edelweiss yang tengah memutik. Lewat temaram senja, edelweiss tampak berpijar-pijar memantulkan cahaya. Sungguh pesona alam yang sangat mengagumkan. Sebagian anggota pencinta alam itu melangkah dalam hening. Udara dingin terasa keras menusuk kulit.Hamzah yang berjalan paling depan memalingkan wajahnya sejenak ke belakang. Sebentar ia menghentikan langkahnya. Matanya mencari-cari Ella. Tak tampak. Heh, di manakah gadis itu?
Sekali lagi diperhatikannya kawan-kawannya yang lain satu per satu. Yah, bukan saja Ella yang tidak ada. yahya, Ita, dan Ria pun tak nampak di dalam rombongan.
“Mi, ke mana Ujang?” tanya Hamzah kepada Umi yang berjalan paling dekat dengannya.
Umi menaikkan bahunya sedikit. “Entahlah! Mungkin masih di belakang.”
Wajah cowok itu sedikit khawatir menatap Umi. Diliriknya jam tangan di lengan kirinya. Pukul lima lewat empatpuluh menit. Berarti sudah duapuluh menit yang lalu mereka berkumpul di Puncak Gemuruh tadi. Seharusnya rombongan yang dipandu oleh Ujang pun sudah sampai di lembah. Perjalanan dari Puncak Gemuruh ke lembah tidak terlalu jauh, paling hanya memakan waktu sepuluh menit.
“Mengapa, zah?” tegur Umi.
“Oke, Mi. Kau jalan duluan. Aku tunggu rombongan Ujang di sini.”
“Ah, kau terlalu khawatir, Zah. Mereka tidak apa-apa. Ujang toh, bukan untuk pertama kali ke tempat ini. Setiap gladian, ia selalu ikut, kan?”
Hamzah tersenyum kecil. “Ya. Tapi, sekarang ia tetap sebagian dari rombongan kita. Jangan lupa itu!”
Umi tertawa gelak, kemudian melangkah meninggalkan Umi sendirian.
“Ah!” Cowok itu mengeluh singkat. Tidak seharusnya memang ia terlalu khawatir seperti sekarang ini. Tapi… entahlah. Dengan ikutnya Ella dalam rombongan ini, membuat rasa khawatirnya seperti berlebihan.
“Heiiii…!” Terdengar teriakan suara Ujang dari sela-sela pohon besar yang menutupi Gunung Gemuruh.
Hamzah tersentak. Matanya berusaha mencari-cari sosok Ujang. Tapi tak nampak.
“Oiiii…!” Terdengar lagi suara Ujang memekik.
Setengah berlari, Hamzah menyongsong ke arah suara itu.
“Ujang! Ujang! Kau di mana?” teriaknya.
“Kami tersesat!” Kali ini teriakan Ujang terdengar tidak terlalu jauh.
“Kalau begitu tak usah kau lanjutkan perjalanan itu. Sebaiknya kembali ke jalur semula!” ujar Rudi dengan penuh rasa khawatir. Ia tak tahu, mengapa tiba-tiba saja ia begitu cemas. Di pelupuk matanya terbayang wajah Ella. Ah, cepat-cepat ditepisnya bayangan gadis itu.
“Ujang, kau masih di situ?”
Sekarang tak terdengar jawaban Ujang. Perasaan Hamzah semakin gelisah.
“Ujang! Ujang kau masih di situ?” ulangnya sekali lagi.
Tak ada jawaban.
“Ujang, kau kembali ke jalan semula!”
Tetap sepi, tak ada jawaban. Hening di lembah itu tiba-tiba saja terasa sangat mencekam. Hamzah menatap langit yang kian gelap. Dalam pikirannya kini, yang terbayang adalah ella. Kasihan gadis itu. Baru pertama kali mendaki, sudah tersesat. Bah! Hamzah memaki udara kosong. Ini tentu eksperimen Ujang untuk mencari jalan baru menuju lembah. Anak satu itu memang sok tahu, sok pahlawan!
Kecemasan Hamzah semakin kuat. Apalagi belum ada tanda-tanda mereka tiba di lembah.
“Ujang! Ita! Ria! Ke…!”
“Hei!” Tak jauh darinya, Ujang — diiringi langkah Ita, Ria, dan ella — melambai ke arahnya. Wajah mereka biasa saja, tak ada tanda-tanda mereka nyaris tersesat di dalam hutan sana. Bahkan ia melihat Ella, gadis yang begitu di khawatirkannya, asyik mengobrol bersama ita sambil tertawa ceria.
Sialan, umpat Hamzah dalam hati. Kiranya cuma ia saja yang dicekam rasa cemas. Sedangkan mereka yang dicemaskan bersikap biasa-biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa. Sialan! Sekali lagi Hamzah mengumpat.
“Kau ajak ke mana mereka, Jang?” tanya Hamzah, menahan dongkol.
Ujang tersenyum sambil menepuk pundak cowok itu, akrab. “Kami hampir tersesat tadi. Aku mengusulkan untuk menuruni jalur baru, yang kuperhitungkan bisa memotong jalan. Eh, ternyata jalur itu buntu!” jang mengumbar gelak seenaknya, seakan tidak punya perasaan bersalah setelah membuat Hamzah khawatir.
“Untung saja kau tak mati di sana!” rutuk Hamzah, yang masih diselimuti perasaan dongkolnya.
Ujang kembali tertawa. “Yah, rasanya aku memang tak mungkin mati di sini. Terlalu menyedihkan, karena bangkaiku tak ada yang mengurus.”
“Tapi kau bisa pulang pakai helikopter!”
“Hahaha….” Ujang kembali menjawab kedongkolan kawannya dengan suara tawanya yang keras.
Hamzah tersenyum masam. Dalam hati ia merasa malu dengan perasaannya sendiri. Seharusnya ia memang tak perlu khawatir secara berlebihan. ujang rasanya tak mungkin tersesat jauh untuk menuruni Gemuruh menuju lembah. Sudah hampir lima tahun berturut-turut ia ikut membimbing gladian di tempat ini. Bah! Perasaan jengkelnya muncul lagi ketika tahu ujang hanya mempermainkannya. Agaknya anak itu tahu kalau ia menyimpan kekhawatiran pada Ella.
Diliriknya gadis yang berjalan di samping Ujang itu.
Wajahnya berkesan acuh tak acuh. Apalagi dengan potongan rambutnya yang cepak serta kacamata minus di tulang hidungnya. Hamzah menarik napas panjang.
Gadis itu begitu pas dengan sikapnya yang cuek.
Diam-diam Hamzah menyimpan ketertarikannya pada gadis itu dalam-dalam di hatinya.
Langit di sekitar lembah kini berkilau dalam cahaya keperak-perakan. Mega hitam berarak, siap menutupi cakrawala. Mereka beriringan menuju kemah. Dingin udara lembah sudah terasa menusuk kulit. Bahkan Ria sudah nampak menggigil.
“Ayolah, kita cepat sedikit. Kita masih harus membangun tenda dulu,” ajak Hamzah.
Mereka pun berjalan agak tergesa menuju tempat perkemahan. Tiba di sana, tenda sudah berdiri. Ria dan Umi sudah mulai sibuk menjerang air. Mereka memang termasuk gadis-gadis terampil di Pataga. Kedua gadis itu sudah cukup terbiasa bertualang di alam bebas. Kesiapan mereka memang patut dihargai Hamzah tersenyum bangga kepada kedua gadis itu. “Heh, kalian boleh juga,” pujinya.
“Apanya yang boleh?” Umi pura-pura tak mengerti pada pujian Hamzah.
Hamzah memutar matanya pada tenda dan kompor gas yang sudah menyala. “Pekerjaan kalian boleh juga, sehingga aku bisa langsung istirahat di sini.” Hamzah membanting tubuhnya di dalam tenda.
Semua yang melihat ulah cowok itu tersenyum; kecuali Ella yang hanya menatapnya dengan senyum dingin. Hal itu tentu saja membuat perasaan Hamzah jadi mangkel. Tapi, ah, gadis boyish alias tomboi itu terlalu sayang untuk diumpatkan. Entahlah, setiap menit pembawaan gadis itu semakin menarik saja di matanya. Padahal selama ini ia tak pernah memendam perasaan yang seperti itu kepada setiap kawannya sesama pencinta alam. Kalaupun ia mengagumi Umi atau Ria, misalnya, itu hanya sebatas perasaan kagum semata. Tak terlalu mendalam.
“Zah, kau mau minum kopi nggak?” Terdengar tawaran Umi kepadanya.
“Oh, tentu, kalau kopinya cappuccino!” ujar cowok itu bergurau, sok glamor.
Ujang tertawa sambil melempar handuk ke badan kawannya itu. “Gayamu! Seperti anak tajir saja. Padahal, biasanya juga minum kopi tubruk. Kopi hitam kampung, tanpa gula pula!” cetusnya.
Hamzah tertawa terbahak. “Dalam cuaca lembah yang begini dingin, minum kopi ala cafe yang harganya selangit memang enak sekali, ya?”
Sebenarnya, Hamzah mencoba mengalihkan ucapannya pada Ella.
Namun, gadis itu diam saja. Hanya sekilas saja senyumnya mengukir di bibirnya yang tipis. Ah, seperti air di daun keladi saja. Hilang tak berbekas.
Kini cowok itu kembali mengalihkan tatapannya pada Ujang, yang balas memperhatikannya dengan cengar-cengir — seolah mengejeknya dengan ucapan: ‘Rasain lu!’
“Kalau kau bawa kopi apa, Nyong?” Hamzah mengarahkan pertanyaannya pada Ujang.
Anak itu semakin melebarkan cengirannya. “Kopi dangdut!” ujarnya.
Dan tawanya yang besar itu pun terdengar lagi.
“Jidatmu!”
Ujang tertawa. Hamzah tertawa.
Akhirnya semua yang ada ikut tertawa dalam kelakar itu, kecuali Ella. Ia asyik duduk di luar tenda menghadap ke kompor sambil mengusap-usap rambutnya yang cepak itu.
Hamzah meliriknya sekilas.
Takut ketahuan Ujang, maka ia buru-buru mengalihkan matanya pada rebusan mie-instan yang kini bergolak di dalam panci.
Iseng, diaduk-aduknya mie-instan dengan sendok.
“Hei, jangan! Nanti hancur, malah nggak enak,” larang Ria, sang Juru Masak.
“Habis, lama sekali matangnya,” kilah Hamzah.
“Huss!” Ria menggebah.
Hamzah pura-pura ngambek. “Aku sudah lapar, nih!”
Padahal kala itu ia gugup, dan sangat gugup karena tatapan Ella lurus dan tajam mengarah padanya.
“Sabar, dong! Memangnya kamu sendiri yang lapar?” Ria menggerutu.
Hamzah tersenyum masam. Tak sadar, matanya kembali beralih pada Ella. Dan… uh! Gadis itu ternyata masih menatapnya dengan tatapan yang tajam dan dingin. Tatapan mereka berbenturan. Dan, yang aneh, bukan gadis itu yang tersipu. Sebaliknya, Hamzah-lah yang menundukkan kepalanya, menghindar dari Ella.
Entahlah, berhadapan dengan gadis itu, tiba-tiba keberanian hamzah sebagai cowok selama ini hilang begitu saja. Udara jadi semakin dingin dirasakan cowok itu. Tanpa sebab yang pasti, tiba-tiba saja ia menggigil. Apakah karena tatapan Ella, atau karena udara di lembah yang memang dingin!

Brrr….
Hamzah cepat-cepat mengenakan jaketnya.
“Mengapa, zah? Dingin?” tegur Evi.
Cowok itu mengedikkan bahunya. “Entahlah,” ujarnya pelan. “Malam ini udara lembah dingin sekali, ya?”
Umi tertawa. “Tumben kau kedinginan. Biasanya kau kan tahan dingin?”
“Entahlah!” Kini Hamzah menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Barangkali karena kau lapar. Makanlah dulu. Mi-instan sudah matang.”
Tanpa menawarkan kawan-kawannya yang lain, Hamzah langsung saja menyambar piring plastik yang disorongkan Umi kepadanya. Barangkali benar juga yang dikatakan Umi, aku menggigil karena lapar, bukan karena tatapan Ella barusan. Ya, mudah-mudahan saja. Cowok itu sibuk membesarkan hatinya sendiri.
Hamzah sudah selesai lebih dulu ketika kawan-kawannya yang lain bersiap-siap untuk makan. Agar tidak mengganggu, cowok itu keluar tenda. Ditatapnya langit. Sungguh indah sekali. Bulan purnama sudah bulat penuh menggantung di atas sana. hamzah melihat Ella tengah duduk memeluk kedua kakinya sambil tersenyum kepadanya.
Fuih! Gila! Gila! hamzah memaki-maki perasaannya sendiri. Mengapa bayangan gadis itu menjadi kian begitu dekat dengannya! Gadis yang baru dua hari lalu dikenalnya!
Sungguh suatu perkenalan yang tak terduga. Ketika Kelompok Pataga merencanakan kebut gunung dan berkemah di Lembah Suryakencana, tiba-tiba saja ella ikut mendaftar di sana.
Mulanya gadis mungil dan tomboi itu memang tidak mendapat perhatian khusus dari anggota Pataga. Tapi, Ujang-lah yang keras hati untuk memperbolehkannya.
“Dia kan bukan anggota Pataga, Jang?” begitu kata Ria.
“Lho, apa salahnya? Toh perjalanan kali ini cuma sekadar pendakian biasa. Tidak ada acara khusus dari Pataga,” Ujang ngotot memperjuangkan ella.
hamzah, yang ketika itu juga ada di tengah mereka, hanya diam saja. Ikut atau tidak Ella dalam rencana itu, tidak menjadi soal baginya. Terlebih ia belum kenal dekat dengan gadis yang sedang didebatkan oleh Ria dan ujang itu. Kemarin ia hanya sepintas melihat gadis itu ketika mendaftar di sekretariat Pataga.
“Terserah hamzah sajalah kalau begitu. Dia yang akan menjadi pemandu dalam kegiatan nanti,” ria menyerahkan persoalan itu kepadanya.
“Bagiku tak jadi soal. Yang penting, dia tidak akan membebani kita. Maksudku, meskipun rencana ini bukan program dari pencinta alam, tapi medannya cukup berat. Kita akan naik dan menuruni dua gunung sekaligus. Apakah gadis itu cukup kuat?” Katanya, melempar pertanyaan pada Ujang.
“Untuk itu aku kurang tahu pasti, Zah. Tapi, aku yakin, Ella pasti kuat.”
“Ya, kalau begitu no problem. Ajak sajalah! Tapi, kalau ada apa-apa padanya, kau yang bertanggung jawab, ya?”
“Beres!” janji Ujang pasti, sambil menepuk pundak hamzah tanda terima kasih.
Ria yang merasa suaranya dikalahkan, hanya tersenyum sumbang. Kemudian ditinggalkannya Ujang dan Hamzah di ruang sekretariat yang sempit itu.
“Kenapa sih kamu ngotot ngajak cewek itu?” tanya hamzah, memancing reaksi Ujang.
Heri cuma mesem saja.
“Pacarmu?”
Ujang menggeleng.
“Lantas, kok kau begitu semangat mengajak dia?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya berteman biasa saja dengan dia. Kau tak usah berpikir macam-macam tentang dia, ya?” ujar Ujang.
Hamzah tertawa.
Ia memang selalu begitu, tak pernah peduli dengan urusan orang lain. Barangkali itu pula sebabnya hingga sekarang ia tak pernah punya pacar. Kadang berpacaran baginya hanya menjadi beban saja. Mesti beginilah, begitulah. Bah, semua serba diatur.
Sungguh menjengkelkan!

Namun, semua itu menjadi berubah ketika ia mengenal Ella. Gadis itu memberikan suasana baru di hatinya. Tentang kekhawatirannya yang berlebihan tadi, tentang tatapan tajam matanya, dan tentang sikapnya yang acuh tak acuh. Ah, semua yang ada padanya telah menimbulkan suatu getaran yang indah di hatinya.
Jatuh cintakah aku, pikir Hamzah.
Lalu ia pun mendesis, seakan tidak mempercayai perasaannya sendiri.
“Kau suka bulan purnama?”
Hamzah tersentak dengan pertanyaan yang halus itu. Di sampingnya, Ella berdiri dengan jaket merah menyala. Ia tampak lebih menarik dengan gayanya itu.
“Ya, aku suka bulan purnama. Tapi, itu jika aku sedang berada di sini. Di Jakarta, aku tak dapat menikmati sinar bulan seindah sekarang karena tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit.”
Ella tersenyum, kemudian menghempaskan pantatnya di atas rumput. Sementara suara gemericik air sayup-sayup terdengar dari kali kecil yang tak jauh dari mereka. Di sekeliling gelap gulita. Hutan bunga-bunga edelweiss pun sudah tak mampu lagi menerobos pekatnya malam.
“Namamu Hamzah, kan?” ujar Ella, terdengar pelan di telinga Hamzah.
Cowok itu mengangguk.
“Kamu sudah tahu namaku?”
Hamzah kembali mengangguk.
Gadis itu tersenyum. Sinar bulan purnama yang memantul lemah, menembus lensa kacamata gadis itu. Hamzah dapat menyaksikan betapa indah sebenarnya kilau mata gadis itu. Ah!
“Mengapa kau tertarik untuk ikut dalam pendakian ini?” tanya Hamzah.
Ella diam saja. Matanya menatap lurus ke depan, seakan ingin menembus kegelapan malam. Kemudian ia tersenyum, begitu dingin dan beku.
Hamzah tak bergeming. Ia memang bukan termasuk cowok yang pintar memancing pembicaraan; apalagi dengan seorang gadis.
“Kau ingin tahu mengapa aku tertarik untuk ikut bersama kelompokmu?” Gadis itu berpaling dan menatap Hamzah dengan mimik serius.
“Ya, jika kau tidak keberatan menceritakannya padaku.”
Ella tertawa pelan. Lalu mempermainkan ujung-ujung rumput di dekat sepatunya.
“Karena ada Ujang?” tebak Hamzah digemuruhi rasa cemburu yang mulai membakar hatinya.
Mata gadis itu terbeliak sebentar. Kemudian terdengar lagi ia tertawa pelan sambil kepalanya menggeleng-geleng. “Bukan. Bukan karena Ujang. Dia adalah sahabatku sejak SMA dulu.”
“Lantas?” Hamzah mulai penasaran.
“Ini adalah pelarianku.”
“Pelarian?” Hamzah mengernyitkan kedua alisnya. “Pelarian bagaimana maksudmu?”
“Ya, pelarian. Aku lari dari keluargaku,” ujar Ella.
Ucapannya begitu tenang. Tak ada gejolak di sana. Nadanya terlalu dingin.
“Heh? Mana bisa aku percaya itu?” sentak Hamzah.
Ella tertawa, kali ini terdengar agak keras. Dari dalam tenda, terdengar suara Ujang mendehem.
“Mengapa tertawa?”
“Pertanyaanmu lucu.”
“Oya, pertanyaanku lucu?”
Ella manggut.
“Ya, barangkali aku ini masih norak, ya? Aku sering tak percaya jika ada seorang gadis lari dari rumah.”
Ella membisu. Ucapan Hamzah memang terasa agak menikam jantungnya. Tapi, tidak. Kenyataannya toh ia memang lari dari keluarganya. Meninggalkan kemelut dalam rumah tangga orangtuanya. Namun, itu hanya karena ia ingin mencari ketenangan semata.
”Kurasa, kau benar, Zah. Memang tidak wajar jika ada anak gadis yang lari meninggalkan keluarganya. Tapi, semua itu terpaksa aku lakukan karena aku ingin hidup tenang dan damai. Selama ini, hal itu tak pernah kudapatkan di rumah,” Ella mulai bicara banyak perihal dirinya.
Dan Hamzah pun mulai mengerti situasi kehidupan Ella yang sebenarnya.
“Aku anak tunggal. Seharusnya aku hidup dimanja, bukan?”
Hamzah mengiyakan.
“Tapi nasibku malang. Jadi anak tunggal, bagiku berarti sengsara. Tidak punya teman untuk mengadu, tak ada kawan yang senasib. Orangtuaku sudah lama hidup berpisah, meskipun tidak bercerai.”
“Apakah hanya karena itu kamu melarikan diri?”
“Ya. Di rumah aku sering kesepian. Ibuku selalu sibuk. Ia punya banyak kegiatan sosial di rumah.”
“Lho, seharusnya kau bangga punya ibu yang aktivis seperti itu.”
Ella terseyum getir. “Bukan pujian yang kuterima, Zah. Orang-orang sering menggosipkan Ibu yang bukan-bukan. Ah, sudahlah, sebaiknya tidak kuceritakan padamu tentang semua ini. Aku malu.”
“Lalu, apa rencanamu dalam pelarian ini?”
“Entahlah.” Ella mengedikkan bahunya.
hamzah menyimak takzim.
“Aku hanya ingin terlepas dari segala macam beban yang selama ini kupikul,” resah gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
Hamzah membisu.
Ella menelan ludahnya dengan susah payah. Masih terdiam, berat mengeluarkan sepatah kata pun. Hamzah turut membeku. Hanya matanya yang bergerak. Dipandanginya sosok ella yang mungil itu.
Kini bukan hanya getaran cinta saja yang dirasakan oleh Hamzah, tapi juga sebersit rasa iba pada gadis broken-home itu. Pantas saja kalau sikapnya agak pendiam dan kadang juga begitu dingin.
“Ah, sudahlah, Zah. Sudah cukup malam. Aku mau tidur dulu,” sambil berkata, Ella berdiri dari duduknya. Melangkah ke dalam tenda, dan membiarkan Hamzah sendiri terpana menatap bulan yang bulat penuh.
Cahaya purnama kini perlahan-lahan semakin memucat. Tak lama, Hamzah pun menyusul Ella. Masuk ke dalam sleeping bag-nya, kemudian tidur.

Pagi hari, Hamzah terbangun oleh udara dingin yang menerpa wajahnya. Langit masih gelap. Bulan purnama yang semalam penuh, kini tinggal separuh dengan cahaya pudar.
Hamzah melihat jam tangannya. Pukul empat lewat empatpuluh menit. Sudah hampir subuh rupanya. Dipandanginya suasana sekelilingnya. Tak jauh darinya, tampak tubuh Ujang duduk membelakanginya.
“Jang, ngapain kau pagi-pagi sudah melamun?”
Ujang terkekeh. Tawanya cerah sekali di subuh ini. “Bangunlah!”
Hamzah mengikuti perintah kawannya itu. Ia bangun dan menghampiri Ujang. Ditepuknya pundak Ujang berulang-ulang. “Apa yang sedang kau pikirkan, Fren?”
“Aku sedang berpikir untuk mencari jalan baru melalui Gunung Gede.”
“Satu ide yang bagus. Kapan kau akan survei?”
“Rencanaku pagi ini, sekalian turun nanti.”
“Bah, gila kau! Persiapan kita tidak cukup matang, Jang. Kita tidak bawa peta dan kompas.”
“Ah, itu bukan persoalan penting. Aku sudah sering naik-turun Gede. Jadi, medannya tak terlalu bahaya. Paling tidak, sudah banyak kukenal.”
“Kau tak bisa menganggap remeh seperti itu, Jang. Bagaimanapun, Gunung Gede itu adalah alam. Ia tetap menyimpan misteri yang belum pernah kita ketahui.”
Ujang tertawa, seakan menertawakan kepengecutan Hamzah. “Kau takut mati?”
Hamzah tersentak dengan pertanyaan Ujang. “Bukan itu soalnya, Jang. Kematian bisa ada di mana-mana. Tapi, aku tak mau konyol!”
“Oke. Aku tak mau memaksamu, Zah. Kau bisa turun lewat jalan biasa. Biar aku sendiri yang akan mencari jalan baru.”
“Gila! Kau nekat, Jang.”
Ujang tersenyum kepada Hamzah. “Petualangan selalu menarik bagiku, Zah. Itulah sebabnya aku akan pakai modal nekat.”
“Lalu bagaimana dengan anak-anak yang lain?” tanya Hamzah.
Ujang mengangkat bahunya.
“Apakah….” Ujang menyalib.
“Yah, terserah mereka. Yang ingin langsung pulang, silakan ikut denganmu. Dan bagi yang mau ikut denganku, juga tak ada salahnya, bukan?” ujarnya ringan.
Hamzah mengangguk.
Kemudian mereka sama-sama diam, menatap pada hamparan edelweiss di sekeliling. Tak terasa matahari sudah muncul dari arah timur. Dan anak-anak yang lain pun sudah bangun.
Tepat pukul delapan pagi, mereka sudah siap untuk meninggalkan Lembah Suryakencana. Saat itulah ujang mengatakan niatnya untuk menempuh rute baru. Dan ia pun menawarkan bagi mereka yang ingin ikut.
Dada Hamzah terasa bergemuruh ketika Ella merupakan orang pertama dan terakhir yang mengacungkan telunjuknya untuk mengikuti Ujang. Betapa ingin hamzah melarang gadis itu. Tapi… itu tak mungkin ia lakukan karena ia tahu, Ella tak mungkin berpihak kepadanya.

Beriringan mereka menyusuri lembah, menuju Gunung Gede. Kabut masih tebal di lembah nan luas itu. Mereka berjalan di dalam kabut tanpa banyak bicara. Agaknya keputusan Ujang untuk menempuh rute baru, mempengaruhi suasana pendakian itu. Umi yang biasanya paling ceriwis, kini jadi pendiam. Begitu pula dengan Ria, Ita, dan Evi. Ketiganya melangkah jauh di depan.
Tiba di puncak Gunung Gede, Rudi menatap ke arah lembah sejenak. Kini hutan-hutan edelweiss tak tampak jelas karena tertutup kabut. Yang kelihatan hanya gumpalan kabut semata. Dari atas, ia tampak begitu suram.
Ella berdecak. “Kabut abadi. Percayakah kau bahwa kabut itu tak akan pernah tertepis dari lembah ini? ujarnya, seolah bertanya pada hamzah.
hamzah tersenyum. “Tidak ada yang abadi di sini. Lihatlah, sebentar lagi kabut itu akan segera menepis. Dan bunga-bunga edelweiss akan tampak kembali. Tentu indah kalau kita lihat dari Puncak Gede ini,” ujarnya, menimpali omongan Ella.
Gadis itu tertawa. hamzah tak dapat menerjemahkan tawa gadis itu. Tawa yang terdengar lembut, tapi begitu sarat dengan beban.
Tiba di kawah, mereka berpencar. Hamzah, Ita, Umi, Evi serta Ria, mengambil rute umum. Sedangkan Ujang dan Ella memilih rute baru. Sebelum berpisah, Hamzah menyalami keduanya.
“Selamat jalan, Fren!” ucap hamzah, menepuk bahu Ujang. “Semoga kalian berhasil!”
“Terima kasih, Zah. Doa kalian juga kami harapkan,” balas Ujang sambil menjabat tangan Ujang, erat.
Suasana hening sejenak. Sebenarnya Hamzah berat sekali untuk melepas mereka.
Namun, apa daya, kemauan ujang begitu keras.
Padahal mereka tanpa persiapan kompas dan makanan yang memadai. Ah, ingin sekali dia mencegah Ujang dan Ellae melanjutkan ide mereka itu. Tapi….
Kini tatapan Hamzah beralih pada Ella. Gadis itu membalasnya dengan senyum. Diulurkan tangannya pada cowok itu.
“Jaga diri baik-baik, Zah. Kalau boleh, aku pinjam syal merahmu, ya?”
Hamzah melepas syal di lehernya, kemudian memberikan kepada Ella. Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja Hamzah merengkuh pundak gadis mungil itu.
“Hati-hati, La. Jangan anggap ini sebagai pelarian, tapi anggaplah sebagai perjuangan. Selamat jalan.”
Gadis itu tersenyum sambil melilitkan syal merah di lehernya. “Oke. Bye, semuanya!” katanya sembari melambai.

Kemudian mereka berpisah, menyusuri jalan masing-masing. Namun, belum jauh mereka terpisah, tiba-tiba saja Hamzah mendengar jeritan ella yang nyaring, bahkan terdengar teramat nyaring.
Hamzah tersentak, kemudian berlari kembali ke belakang.
Apa yang telah terjadi?!
Dilihatnya tubuh Ella terguling-guling di sela-sela batang pohon. Darah mengucur segar dari wajah dan kepalanya. Sementara di sampingnya, keadaan Ujang lebih menyedihkan. Kedua kakinya patah serta seluruh wajahnya penuh darah.
Apa yang terjadi?
Apa yang terjadi?! pekiknya histeris.
Tiba-tiba sekelilingnya terasa gelap gulita.
Hamzah disergap rasa bersalah karena ia tadi tak mampu mencegah mereka berdua. Dan penyesalan itu semakin ganas menyergapnya. Kepalanya mulai terasa pusing. Di dekatnya, tubuh Ella dan Ujang tak bergerak.
Mereka telah mati….
Dan seketika itu juga hamzah berteriak keras sekali. “Tidaaak! Tidaaak…!”
Bersamaan dengan teriakannya itu, kakinya menendang seseorang. Matanya terbuka. Di sekelilingnya tampak terang-benderang. Di ujung tempat tidur, terlihat ibunya duduk sambil tersenyum penuh kasih-sayang.
“Mimpimu buruk sekali, Zah?”
Astaga!
Cowok itu cepat-cepat bangun dari tempat tidurnya. Diusapnya wajahnya dengan kedua belah tangan.
“Aku mimpi. Aku mimpi,” gumamnya.
Kemudian matanya berlari ke arah sudut kamarnya. Di sana tampak sepatu larsnya tergeletak berdebu. Tak jauh, ransel army-look-nya tergantung kusam. Dan, di dinding itu, syal merah yang dalam mimpinya diberikan kepada Ella, tergantung bisu. Warnanya masih tetap cemerlang. Lalu, siapakah Ella, gadis dalam mimpinya itu?!
“Mimpi apa kamu, sampai kakimu menendang Ibu?”
hamzah diam saja. Ia masih termenung. Dirasakannya mimpinya begitu aneh. Ah, siapakah gadis dalam mimpinya itu? Kalau Ella, Ella yang mana? Ia tak pernah punya teman perempuan yang bernama Ella.
Tak sabaran, ia pun berlari ke meja telepon. Langsung diputarnya nomor rumah Ujang. Di sana, Ujang menyambut sambil terkekeh-kekeh mendengar ceritanya.
“Kau lupa pada Ella, ya?” Ujang justru semakin membuatnya penasaran.
“Ella mana sih, Jang?!”
“Kau masih ingat ketika kita gladian dua tahun yang lalu?”
“Ya.”
“Nah, apa kau lupa, kita kan sempat berkenalan dengan pendaki dari rombongan Tigmapala?”
“Oya, ya. Tapi apakah…?”
“Gadis itu kan bernama Ella!”
“Oya, ya. Apakah kau masih menyimpan alamatnya, jang?”
“Masih. Untuk apa?”
“Aku mau ke rumahnya sekarang.”
“Ah, kau gila! Dia kan sudah tiada. Ia termasuk salah seorang pendaki yang hilang di Gunung Gede tiga bulan yang lalu.”
Astaga!
Hamzah terperangah di tempatnya. Gagang telepon terjatuh dari tangannya. Berkali-kali diusapnya kedua tangan ke wajahnya. Kini ia tertunduk lemas. Ingatannya yang sempurna pulih kembali. Tiga bulan yang lalu, tergabung dalam Tim SAR Mapala, dialah yang menemukan mayat gadis itu.
Astaga! ©

BACA SELENGKAPNYA =>

Translate Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive

BLOG TERKAIT

  • Pencegahan account FB kita di Hack - Berhubung banyak banget account OS di FB yang di bajak,,saya copas salah satu artikel nih buat pencegahan account FB kita di Hack... : - Beberapa hari ini...
    12 tahun yang lalu